Rabu, 08 Januari 2014

tugas ke 7 ilmu pengetahuan dan teknologi

Di kalangan ilmuwan ada keseragaman pendapat, bahwa ilmu itu selalu tersusun dari pengetahuan secara teratur, yang diperoleh dengan pangkal tumpuan ( objek) tertentu dengan sistematis, metodis, rasional/logis, empiris, umum, dan akumulatif. Pengertian pengetahuan sebagai istilah filsafat tidaklah sederhana karena bermacam-macam pandangan dan teori (epistemologi), di antaranya pandangan Aristoteles, bahwa pengetahuan merupakan pengetahuan yang dapat diinderai dan dapat merangsang budi. Menurut Decartes ilmu pengetahuan merupakan serba budi; oleh Bacon dan David Hotne diartikan sebagai pengalaman indera dan batin; menurut Immanuel Kant pengetahuan merupakan persatuan antara budi danpengalaman; dan teori Phyroo mengatakan, bahwa tidak ada kepastian dalarna pengetahuan. Dari berbagai macam pandangan tentang pengetahuan diperoleh sumber-sumber pengetahuan berupa ide, kenyataan, kegiatan akal-budi, pengalaman, sintesis budi, atau meragukan karena tak adanya sarana untuk mencapai pengetahuan yang pasti.
Untuk membuktikan apakah isi pengetahuan itu benar, perlu berpangkal pada teori-teori kebenaran pengetahuan. Teori pertama bertitik tolak adanya hubungan dalil, di mana pengetahuan dianggap benar apabila dalil (proposisi) itu mempunyai hubungan dengan dalil (proposisi) yang terdahulu. Kedua, pengetahuan itu benar apabila ada kesesuaian dengan kenyataan. Teori ketiga menyatakan, bahwa pengetahuan itu benar apabila mempunyai konsekuensi praktis dalam diri yang mempunyai pengetahuan itu.
Banyaknya teori dan pendapat tentang pengetahuan dan kebenaran mengakibatkan suatu definisi ilmu pengetahuan akan mengalami kesulitan. Sebab, membuat suatu definisi dari definisi ilmu pengetahuan yang dikalangan ilmuwan sendiri sudah ada keseragaman pendapat, hanya akan terperangkap dalam tautologis (pengulangan tanpa membuat kejelasan) dan pleonasme atau mubazir saja.
Pembentukan ilmu akan berhadagan dengan objek yang merupakaan bahan dalam penelitian, meliputi objek material sebagai bahan yang menjadi tujuan penelitian bulat dan utuh. serta objek formal, yaitu sudut pandangan yang mengarah kepada persoalan yang menjadi pusat perhatian. Langkah-langkah dalam memperoleh ilmu dan objek ilmu meliputi rangkaian kegiatan dan tindakan. Dimulai dengan pengamatan, yaitu suatu kegiatan yang diarahkan kepadafakta yang mendukung apa yang dipikirkan untuk sistemasi, kemudian menggolong-golongkan dan membuktikan dengan cara berpikir analitis, sintesis, induktif, dan deduktif. Yang terakhir ialah pengujian kesimpulan dengan menghadapkan fakta-fakta sebagai upaya mencari berbagai hal yang merupakan pengingkaran.
Untuk mencapai suatu pengetahuan yang ilmiah dan objektif diperlukan sikap yang bersifat ilmiah. Bukan membahas tujuan ilmu, melainkan mendukung dalam mencapai tujuan ilmu itu sendiri, sehingga benar-benar objektif, terlepas dari prasangka pribadi yang bersifat subjektif. Sikap yang bersifat ilmiah itu meliputi empat hal:
a. tidak ada perasaan yang bersifat pamrih sehingga mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif.
b. Selektif, artinya mengadakan pemilihan terhadap problema yang dihadapi supaya didukung oleh fakta atau gejala, dan mengadakan pemilihan terhadap hipotesis yang ada.
c. Kepercayaan yang layak terhadap kenyataan yang tak dapat diubah maupun terhadap alat indera dan budi yang digunakan untuk mencapai ilmu.
d. Merasa pasti bahwa setiap pendapat, teori, maupun aksioma terdahulu telah mencapai kepastian, namun masih terbuka untuk dibuktikan kembali.
Permasalahan ilmu pengetahuan meliputi arti sumber. kebenaran pengetahuan, serta sikap ilmuwan itu sendiri sebagai dasar untuk langkah selanjutnya. llmu pengetahuan itu sendiri mencakup ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan, dan sebagai apa yang disebut generic meliputi segala usaha penelitian dasar dan terapan serta pengembangannya. Penelitian dasar bertujuan utama menambah pengetahuan ilmiah, sedangkan penelitian terapan adalah untuk menerapkan secara praktis pengetahuan ilmiah. Pengembangan diartikan sebagia penggunaan sistematis dari pengetahuan yang diperoleh penelitian untuk keperluan produksi bahan-bahan, cipta rencana sistem metode atau proses yang berguna, tetapi yang tidak mencakup produksi atau engineeringnya (Bachtiar Rifai, 1975).
Dalam menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan tersebut, perlu diperhatikan hambatan sosialnya. Bagaimana konteksnya dengan teknologi, dan kemungkinan untuk mewujudkan suatu perpaduan dan pertimbangan moral dan ilmiah. Sebab manusia tidak selalu sadar akan hal ini, dan manusia yang paling sederhana pun hanya menerima informasi mengenai kemungkinan yang dihasilkan oleh penelitian-penelitian sebelumnya.
Contoh sederhana tapi mendalam terjadi pada masyarakat mitis. Dalam masyarakat tersebut ada kesatuan dari pengetahuan (mitis) dan perbuatan (sosial), demikian pula hubungan sosial di dalam suku dan kewajiban setiap individu sudah terang. Argumen ontologis. kalau meminjam teori Plato, artinya berteori tentang wujud atau hakikat yang ada. Keadaanya sekarang sudah berkembang sehingga manusia sudah mampu membedakan antara ilmu pengetahuan dengan etika dalam suatu sikap yang dapat dipertanggung- jawabkan.
Alasan lain untuk mengintegrasikan kedua bidang tersebut ialah karena dalam perkembangan ilmu-ilmu modern, pengetahuan manusia telah mencapai lingkupnya yang paling luas, dimulai dengan pikiran ontologis, kemudian mengambil jarak terhadap alam sekitarnya. Alam dipelajari, direnggut, dan digauli, rahasia-rahasianya dimanfaatkan bagi manusia. Timbul kesan seolah- olah pengetahuan ilmiah merupakan suatu tujuan sendiri (ilmu demi ilmu). Bahkan ada ilmu pengetahuan murni, jadi lepas dari apa yang ada di luar ruang lingkup ilmu, lepas dari masyarakat dan hidup sehari-hari. Di sini manusia berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai kebaikan dan kejahatan, kesadaran politik, nilai-nilai religius, dan sebagainya. Oleh pandangan ini, kaidah etis beserta nilai-nilainya dicap sebagai soal-soal ekstra ilmiah (di luar bidang ilmu).
Sekarang tidak dapat netral dan bersikap netral lagi terhadap penyelidikan ilmiah. Karena manusia hidup dalam satu dunia, hasil ilmu pengetahuan dapat membawa kepada malapetaka yang belum pernah kita bayangkan sehingga perlu etika ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya jalan keluar. Lebih lanjut diakui oleh filsafat modern, bahwa manusia dalam pekerjaan ilmiahnya tidak hanya bekerja dengan akal budinya, melainkan dengan seluruh eksistensinya, dengan seluruh keadaannya dengan hatinya, dengan pancainderanya sehingga manusia, dalam mengambil keputusannya,
membuat pilihannya terlebih dahulu, mendapat pertimbangan dengan ajaran agama, dan nilai-nilai atau norma kesusilaan. Konteks ilmu dengan ajaran agama dalam rangka meningkatkan ilmuwan itu sendiri sejajar dengan orang-orang yang beriman pada derajat yang tinggi, sebagai pemegang amanat, dan akan tetap memperoleh pahala.
Ilmu pengetahuan sekarang menghadapi kenyataan kemiskinan, yang pada hakikatnya tidak dapat Rlelepaskan diri dari kaitannya dengan ilmu ekonomi karena kemiskinan merupakan persoalan ekonomi yang paling elementer, di mana kekurangan dadpat menjurus kepada kematian. Tetapi di lain pihak ekonomi sekarang berada pada puncak kegemilangan intelektual, banyak menggunakan penilaian matematis dan usaha pembuatan model matematis yang merupakan usaha yang amat makmur (American Ekonomic Associa- tion). Dalam hal ini tentu ekonomi perlu menyajikan analisis yang relevan dengan kehidupan sehari-hari dengan bermacam-macam kadar asumsinya, sebab, apabila bertentangan dengan nilai-nilai atau etika yang hidup dalam masyarakat dan model-model yang dibangunnya tidak relevan, akan memberi kesan sebagai suatu ilmu yang mengajarkan keserakahan.
Maka sebagai gantinya dapat disodorkan apa yang disebut ekonomika etik (Prof. Dr. Ace Partadiredja, "Ekonomik Etik", pada pengukuran Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada, Yogya, 1981 ).

2. TEKNOLOGI
Dalam konsep yang pragmatis dengan kemungkinan berlaku secara akademis dapatlah dikatakan, bahwa ilmu pengetahuan (body of knowledge), dan teknologi sebagai suatu seni (state of art) yang mengandung pengertian berhubungan dengan  proses produksi; menyangkutcara bagaimana berbagai sumber, tanah, modal, tenaga kerja dan keterampilan dikombinasikan untuk merealisasi tujuan produksi. "Secara konvensional mencakup penguasaan dunia fisik dan biologis, tetapi secara luas juga meliputi teknologi sosial, terutama teknologi sosial pembangunan (the social technology of development) sehingga teknologi itu adalah metode sistematis untuk mencapai setiap tujuan insani." (Eugene Staley, 1970).
Dari batasan di atas jelas, bahwa teknologi social pembangunan memerlukan semua science dan teknologi untuk dipertemukan dalam menunjang tujuan-tujuan pembangunan, misalnya perencanaan dan programing pembangunan, organisasi pemerintah dan administrasi negara untuk pembangunan sumber-sumber insani (tenaga kerja, pendidikan dan latihan), dan teknik pembangunan khusus dalam sektor-sektor seperti pertanian, industri, dan kesehatan.
Teknologi memperlihatkan fenomenanya dalam masyarakat sebagai hal impersonal dan memiliki otonomi mengubah setiap bidang kehidupan manusia menjadi lingkup teknis. Jacques Ellul dalam tulisannya berjudul "The Tech- nological Society" (1964) tidak mengatakan teknologi tetapi teknik, meskipun arti atau maksudnya sama. Menurut Ellul istilah teknik digunakan tidak hanya untuk mesin, teknologi atau prosedur untuk memperoleh hasilnya, melainkan totalitas motode yang dicapai secara rasional dan mempunyai efisiensi (untuk memberikan tingkat perkembangan) dalam setiap bidang akti.vitas manusia. Batasan ini bukan bentuk teoritis, melainkan perolehan dari aktivitas masing- masing dan oh"ervasi fakta dari apa yang disebut manusia modern d&ugan perlengkapan tt'.miknya. Jadi teknik menurut Ellul adalah berbagai usaha, metode dan cara untuk memperoleh basil yang sudah distandardisasi dan diperhitungkan sebelumnya.
Fen omena teknik pada masyarakat kini, menurut Sastrapratedja ( 1980) memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Rasionalitas, artinya tindakan spontak oleh teknik diubah menjadi tindakan yang direncanakan dengan perhitungan rasional.
b. Artifisialitas, artinya selalu membuat sesuatu yang buatan tidak alamiah.
c. Otomatisme, artinya dalam hal metode, organisasi dan rumusan dilaksankaan serba otomatis. Demikian pula dengan teknik mampu mengelimkinasikan kegiatan non-teknis menjadi kegiatan teknis.
d. Teknis berkembang pada suatu kebudayaan.
e. Monisme, artinya semua teknik bersatu, saling berinteraksi dan saling bergantung.
f. Universalisme, artinya teknik melampaui batas-batas kebudayaan dan ediologi, bahkan dapat menguasai kebudayaan.
g. Otonomi, artinya teknik berkembang menurut prinsip-prinsip sendiri.
Teknologi yang berkembang dengan pesat, meliputi berbagai bidng kehidupan manusia. Masa sekarang nampaknya sulit memisahkan kehidupan manusia dengan teknologi, bahkan sudah merupakan kebutuhan manusia. Awal perkembangan teknik yang sebelumnya merupakan bagian dari ilmu atau bergantung dari ilmu, sekarang ilmu dapat pula bergantung dari teknik. Contohnya dengan berkembang pesatnya teknologi komputer dan teknologi satelit ruang angkasa, maka diperoleh pengetahuan baru dari hasil kerja kedua produk teknologi tersebut. Luasnya bidang teknik, digambarkan oleh Ellul sebagai berikut
Teknologi yang berkembang dengan pesat, meliputi berbagai bidng kehidupan manusia. Masa sekarang nampaknya sulit memisahkan kehidupan manusia dengan teknologi, bahkan sudah merupakan kebutuhan manusia. Awal perkembangan teknik yang sebelumnya merupakan bagian dari ilmu atau bergantung dari ilmu, sekarang ilmu dapat pula bergantung dari teknik. Contohnya dengan berkembang pesatnya teknologi komputer dan teknologi satelit ruang angkasa, maka diperoleh pengetahuan baru dari hasil kerja kedua produk teknologi tersebut. Luasnya bidang teknik, digambarkan oleh Ellul sebagai berikut :
1. Teknik meliputi bidang ekonomi, artinya teknik mampu menghasilkan barang-barang industri.
Dengan teknik, mampu mengkonsentrasikan kapital sehingga terjadi sentralisasi ekonmi. Bahkan ilmu ekonomi sendiri terserap oleh teknik.
2. Teknik meliputi bidang organisasi seperti administrasi, pemerintahan, manajemen, hukum dan militer. Contohnya dalam organisasi negara, bagi seorang teknik negara hanyalah merupakan ruang lingkup untuk aplikasi alat-alat yang dihasilkan teknik. Negara tidak sepenuhnya bermakna sebagai ekspresi kehendak rakyat, tetapi dianggap perusahaan yang harus memberikan jasa dan dibuat berfungsi secara efisien. Negara tidak lagi berurusan dengan keadilan sosial sebagai tumpuannya, melainkan menurut ahli teknik negara harus menggunakan teknik secara efisien.
3. Teknik meliputi bidang manusiawi, seperti pendidikan, kerja, olahraga, hiburan dan obat-obatan. Teknik telah menguasai seluruh sektor kehidupan manusia, manusia semakin harus beradaptasi dengan dunia teknik dan tidak ada lagi unsur pribadi manusia yang bebas dari pengaruh teknik.
Pada masyarakat teknologi, ada tendensi bahwa kemajuan adalah suatu proses dehumanisasi secara perlahan-lahan sampai akhirnya manusia takluk pada teknik.
Teknik-teknik manusiawi yang dirasakan pad~ masyarakat teknologi, terlihat dari kondisi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia pada saat ini telah begitu jauh dipengaruhi oleh teknik. Gambaran kondisi tersebut adalah sebagai berikut :
1. Situasi tertekan. Manusia mengalami ketegangan akibat penyerapan teknik-teknik mekanisme-mekanisme teknik. Manusia melebur dengan kemanisme teknik, sehingga waktu manusia dan pekerjaannya mengalami pergeseran. Peleburan manusia dengan mekanisme teknik, menuntut kualitas dari manusia, tetapi manusia sendiri tidak hadir di dalamnya atau pekerjaannya.
Contoh pada sistem industri ban berjalan, seorang buruh meskipun sakit atau Ielah, atau pun ada berita duka bahwa anaknya sedang seka rat dirumah sakit, mungkin pekerjaan itu tidak dapat ditinggalkan sebab akan membuat macet garis produksi dan upah bagi temannya. Keadaan tertekan demikian, akan menghilangkan nilai- nilai sosial dan tidak manusiawi lagi.
2. Perubahan ruang dan lingkungan manusia. Teknik telah mengubah lingkungan manusia dan hakikat mannsia. Contoh yang sederhana manusia dalam hal makan atau tidur tidak ditentukan oleh lapar atau ngantuk tetapi diatur oleh jam.
Alat-alat transportasi telah mengubah jarak pola komunikasi manusia. Lingkungan manusia menjadi terbatas, tidak berhubungan dengan padang rumput, pantai, pohon-pohon atau gunung secara langsung, yang ada hanyalah bangunan tinggi yang padat, sehingga sinar matahari pagi hari (banyak mengandung sinar ultra violet) tidak sempat lagi menyentuh permukaan kulit tubuh manusia.
3. Perubahan waktu dan gerak manusia. Akibat teknik, manusia terlepas dari hakikat kehidupan. Sebelumnya waktu diatur dan diukur sesuai dengan kebutuhan dan peristiwa-peristiwa dalam hidup manusia, sifatnya alamiah dan kongkrit. Tetapi sekarang waktu menjadi abstrak dengan pembagian jam, menit dan detik. Waktu hanya mempunyai kuantitas belaka tidak ada nilai kualitas manusiawi atau sosial, sehingga irama kehidupan harus tunduk kepada waktu yang mengkanistis dengan 4. Terbentuknya suatu masyarakat massa. Akibat teknik, manusia hanya membentuk masyarakat massa, artinya ada kesenjangan sebagai masyarakat. kolektif. Hal ini dibuktikan bila ada perubahan norma dalam masyarakat maka akan muncul kegoncangan. Masyarakat kita masih memegang nilai-nilai asli (primordial) seperti agama atau adat istiadat secara ideologis, akan tetapi struktur masyarakat atau pun dunia norma pokoknya tetap saja hukum ekonomi, politik atau persaingan kelas. Proses sekularisasi sedang berjalan seara tidak disadari. Proses massafikasi yang melanda kita dewasa ini, telah menghilangkan nilai-nilai hubungan sosial suatu komunitas. Padahal individu itu perlu hubungan sosial. Terjadinya neurosa obsesional atau gangguan syaraf menurut beberapa ahli, sebagai akibat hilangnya nilai-nilai hubungan sosial;
Yaitu kegagalan adaptasi dan penggantian relasi-relasi komunal dengan relasi yang bersifat teknis. Struktur sosiologis massal dipaksakan oleh kekuatan-kekuatan teknik dan kebijaksanaan ekonomi (produk industri), yang melampaui kemampuan manusia.
5. Teknik-teknik manusiawi dalam arti ketat.
Artinya, teknik-teknik manusiawi harus memberikan kepada manusia suatu kehidupan manusia yang sehat dan seimbang, bebas dari tekanan-tekanan. Teknik harus menyelaraskan diri dengan kepentingan manusia bukan sebaliknya. Melalui teknik bukan berarti menghilangkan kodrat manusia itu sendiri, tetapi perlu memanusiakan teknik. Manusia bukan objek teknik tetapi sebagai subjek teknik.
Kondisi sekarang sering manusia itu menjadi objek teknik dan ha,rus selalu menyesuaikan diri dengan teknik.
Akibat kondisi yang dipaparkan tadi, dampak teknik itu sendiri bagi manusia sudah dirasakan dan fenomenannya nampak. Seperti: anggapan para ahli teknik bahwa manusia hanyalah mitos abstrak, manusia mesin (manusia mengadaptasikan diri kepada mesin), penerapan teknik memecah belah manusia (tidak ada kesempatan mengembangkan kepribadiannya), timbul kemenangan pada alam tak sadar, simbol-simbol tradisional diganti dengan teknik, terbentuknya manusia-massa (gaya hidup dibentuk oleh iklan) dan nampak teknik sudah mendominasi kehidupan manusia secara menyeluruh.
Adapun Alvion Toffler ( 1970) mengumpamakan "teknologi" itu sebagai mesin yang besar atau sebuah akselerator (alat mempercepat) yang dahsyat, dan ilmu pengetahuan sebagai bahan bakarnya. Dengan meningkatnya ilmu pengetahuan secara kuantitatif dan kualitatif, maka kian meningkat pula proses akselerasi yang ditimbulkan oleh mesin pengubah, lebih-lebih teknologi mampu menghasilkan teknologi yang lebih banyak dan lebih baik lagi.
llmu pengetahuan dan teknologi merupakan bagian-bagian yang dapat dibeda-bedakan, tetapi tidak dapat dipisah-pisahkan dari suatu sistem yang berinteraksi dengan sistem-sistem lain dalam kerangka nasional seperti kemiskinan. Maka ada interrelasi, interaksi, dan interdependensi antara kemiskinan dan sistem atau subsistem "ilmu pengetahuan dan teknologi".
Saat ini sudah dikonstantasi, bahwa negara-negara teknologi maju telah memasuki tahap superindustrialisme, melalui inovasi teknologis tiga tahap : (a) ide kreatif, (b) penerapan praktisnya, dan (c) difusi atau penyebarluasan dalam masyarakat. Ketiga tahap ini merupakan siklus yang menimbulkan bermacam-macam ide kreatif baru sehingga merupakan reaksi berantai yang disebut proses perubahan.
Dengan semakin meningkatnya teknologi, tempat proses perubahan itu tidak dapat dipandang "normal" lagi, dan tercapailah akselerasi ekkstern maupun intern (psikologis) yang merupakan kekuatan sosial yang kurang mendalam dipahami.
Dalam hal akselerasi, apabila masa depan itu menyerbu masa kini dengan kecepatan yang terlampau tinggi, maka masyarakat atas dapat mengindap penyakit "progeria", yakni tingkat menua yang lanjut sekalipun secara kronologis usianya belum tua. Bagi masyarakat semacam itu, perubahan tersebut seolah-olah tidak dapat dikendalikan lagi, kemudian dicari semacam kekebalan diplomatik terhadap perubahan. Tak mustahil pula akan timbul future shock atau "kejutan masa depan", yaitu sesuatu penderitaan fisik dan atau mental yang timbul apabila sistem adaptif fisik dari organisme manusia itu, beserta proses pembuatan keputusannya, terlampau banyak dilewati daya dukungnya.
Akselerasi perubahan secara drastis dapat mengubah mengalirkan "situasi". Dalam hal ini situasi dapat dianalisis menurut lima komponen dasar, yaitu (l) benda, (2) tempat, (3) manusia, (4) organisasi dan (5) ide. Hubungan kelima komponen itu, ditambah dengan faktor waktu, membentuk kerangka pengalaman sosial.
Menurut Toffler ada kekuatan lain yang dapat mengubah wajah dan eksistensi manusia selain akselerasi, yaitu transience (keadaan yang bersifat sementara). Transience merupakan alat kasar yang berguna dalam mengukur laju mengalirnya situasi, dan menjembatani teori-teori sosiologis tentang perubahan dan psikologi insasi perseorangan. Masyarakat, menurut transisence, dibagi ke dalam dua kelompok : (I) high transience dan (2) low transience. Eksplorasinya mengenai kehidupan masyarakat high transience menghasilkan ringkasan sebagai berikut :
a. Benda: hubungan "manusia-benda" tidak awet, dan masyarakatnya merupakan masyarakat pembuang. Bandingkan, misalnya, vulpen bertinta yang "permanen" dengan ball point yang dibuang setelah habis.
b. Tempat: Hubungan "manusia-tempat" menjadi lebih sering, lebih rapuh, dan lebih sementara; jarak fisik semakin tidak berarti, masyarakat amat mobil penuh dengan "nomad baru". Secara kiasan, "tempat" pun seolah- olah cepat terpakai habis, tak berbeda dengan, misalnya, minuman dalam kaleng.
c. Manusia: hubungan "manusia-manusia" pun pada umumnya menjadi sangat sementara dan coraknya fungsional. Kontak antar manusia tidak menyangkut keseluruhan personalitas, melainkan bersifat dangkal dan terbatas; secara kiasan terdapat "orang yang dapat dibuang".
d. Organisasi: organisasi ada kecenderungan menjadi superbirokrasi di masa depan. Manusia dapat kehilangan individualitas dan personalitasnya dalam mesin organisasi yang besar, namun hakikat sistemnya sendiri telah banyak mengalami perubahan. Hubungan "manusia-organisasi" pun seolah-olah menjadi mengalir dan beraneka ragam, menjadi sementara, baik hubungan formalnya (departemen, bagian, klub, dsb) maupun informalnya (klik, kelompok minum kopi, dsb). Banyak cara "proyek", "kelompok task force", dsb., yang semuanya pada hakikatnya merupakan "kelompok ad hoc" atau hanya untuk keperluan khusus.
e. Ide: hubungan "manusia-ide" bersifat sementara karena ide dan image timbul dan menghilang dengan lebih cepat. Gelombang demi gelombang ide menyusupi hampir segala bidang aktivitas manusia.
Semul~ ciri-ciri akselerasi dan transience yang semakin tinggi pada masyarakat yang semakin maju teknologinya, menyebabkan seolah-olah satu- satunya yang tetap adalah perubahan, meliputi perubahan nilai operasional, fungsi dan keahlian, yang sifatnya mengganti, mengubah, menambah, menyusun, menghapus, dan menguatkan. Kesemuanya merupakan bahan
pertimbangan dalam proses alih teknologi, bagaimana apakah ada relevansinya dengan kebutuhan masyarakat, ada keserasian dengan cara hidup, mudah- tidaknya dalam penerapan, dan memberikan keuntungan atau tidak secara nyata. Oleh karena itu, perlu diperhatikan tigaruang dimensi yang meliputi bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan bidang alam, ekonomi, sosial-budaya; serta bidang politik, yang ketiganya saling berhubungan.
Ketentuan-ketentuan di atas menjelaskan bahwa teknologi dalam situasi tertentu dapat tidak netrallagi karena mengandung potensi merusak dan potensi kekuasaan. Teknologi bersifat ambivalen; di samping segi yang positif, juga memperlihatkan yang negatif, terkadang dianggap suci demi tujuan akhir, bukan sebagai alat lagi. Oleh karena itu teknologi membutuhkan bimbingan moral atau ajaran-ajaran agama, menentukan apa yang harus dan apa yang jangan dilakukan. Kebudayaan teknik dijadikan suatu strategi yang mengajak semua orang berpartisipasi, bukan seorang tahanan dalam kurungan daya- daya teknik. Etika, moral, dan ajaran agama menerobos teknis, membuka suatu dimensi transenden, mengatasi imanensi sebagai strategi kebudayaan dengan evaluasi kritis dan tanggung jawab. Bagaimana manusia bertanggung jawab terhadap hasil teknologi modern, berdasarkan "interaksi" hubungan timbal-balik antara kesadaran etis dan masalah-masalah kongkret.
Untuk itu semua diperlukan counter play yang sejati, bersifat normatif bagi manusia. Tuhan, keadilan dan perikemanusiaan, hendaklah mulai berfungsi dalam situasi man usia yang kongkret, artinya jelas, langsung dapat dilihat, menyangkut hal urgen, berpijak pada kenyataan. Demikian pula pandangan terhadap teknologi harus menekankan pada keserasian antara teknologi dengan kepentingan manusia dan integritas ekosistem. Hal ini dapat berlangsung dengan cara : (1) memberikan ban yak alternatif pili han teknologi. (2) adanya interaksi yang serasi antara manusia, mesin-mesin dan biosfer. Agar sistem ekonomi terpelihara, (3) teknologi harus baik secara termodinamis demi tercapainya keseimbangan energi, ekonomi dan ekologis, (4 ) teknologi harus menopang hidup manusia bukan sebaliknya. Pandangan ini dikenal dengan pandangan "appropriate technology" (penyediaan teknologi) menurut konsepnya E.F Scumacher (1979). Padangan sebelumnya terhadap teknologi adalah anarki teknologi (technological anarchy), yang memandang teknologi serba baik.
Pandangan ini kemudian bergeser menjadi cinta akan teknologi (technophilia), kemudian menjadi pandangan kekecewaan terhadap teknologi (technophobia). Pandangan ini berubah secara bertahap, meskipun dalam kenyataannya negara-negara berkembang terdesak oleh keadaan sosial ekonomi
197
198
yang mengkhawatirkan, sering dihadapkan kepada masalah bagaimana pandangan yang tepat bagi negaranya dapat diterapkan. Alternatif untuk mengatasi masalah demikian, dikembangkan apa yang disebut dengan "teknologi tepat guna". Teknologi tepat gun a a tau appropriate technology adalah pengembangan teknologi yang sesuai dengan situasi budaya dan geografis masyarakat, penentuan teknologi sendiri sebagai suatu identitas budaya setempat serta menggunakan teknologi dalam proses produksi untuk menghasilkan barang-barang kebutuhan dasar dan bukan barang-barang objek ketamakan.
Teknologi tepat guna sering tidak berdaya menghadapi teknologi Barat, yang sering masuk dengan ditunggangi oleh segelintir orang atau kelompok yang bermodal besar. Ciri-ciri teknologi Barat tersebut adalah :
1) Serba intensif dalam segala hal, seperti modal, organisasi, tenaga kerja dan lain-lain, sehingga lebih akrab dengan kaum elit daripada dengan buruh itu sendiri.
2) Dalam struktur sosial, teknologi barat bersifat melestarikan sifat kebergantungan.
3) Kosmologi atau pandangan teknologi Barat adalah: menganggap dirinya sebagai pusat yang lain feriferi, waktu berkaitan dengan kemajuan secara linier, memahami realitas secara terpisah dan berpandangan manusia sebagai tuan atau mengambil jarak dengan alam.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar